top of page
Search
  • Writer's pictureMerdeka Secretariat

Free Stracky Yally!


Lihat terjemahan bahasa Indonesia di bawah ini


The Criminalization of Papuan Filmmaker Stracky Yally


After the demonstrations denouncing racism in West Papua and Indonesia, many activists were arrested and criminalized by Indonesian law enforcement officials. One of them was Assa Asso, who condemned the racism through his Facebook account, and was later arrested in September 2019 in Sentani, Jayapura Regency, Papua Province.


Assa Asso, who is also known as Stracky Yally, was charged with treason in reference to Article 106 of the Indonesian Criminal Code, defined as a public action with the intent to bring the territory of the state in whole or in part under foreign domination or to separate part thereof. He was also charged with Article 160 of the Indonesian Criminal Code concerning incitement, which is an act or an effort to get people to commit a crime or violence against public authority, or non-compliance with the provisions of the laws.


Assa Aso is a member of Papuan Voices, an organization of Papuan filmmakers. He has been actively producing films with Papuan Voices from 2017 until 2019; among his works are “In Prison” and “Salon Elisabeth”. According to Papuan Voices, the criminalization of activists is a form of silencing democratic space specifically for filmmakers who exercise the right to freedom of expression on cyberspace. Assa Asso’s trial is ongoing in the Jayapura 1A District Court, with the latest session held last Tuesday, May 5, 2020 wherein the Jayapura District Court Prosecutor examined the incriminating witnesses. The trial will resume again on Tuesday, May 12, 2020. Emanuel Gobay, LL.M. from the Papua Law and Human Rights Enforcement Coalition has stated that Assa Asso is a victim of criminalization through the Makar (treason) Article, as the indictment does not clearly state the time of the treacherous action allegedly committed by Assa Asso.


In addition to the Makar Article which is often used to criminalize activists in Papua, Article 160 of the Criminal Code on incitement is also used against activists, such as with what happened to human rights activist Melianus Dwitau. The Electronic Information and Transactions (ITE) Law was also used by local Papuan officials to criminalize Alforiani Reba, an activist from the National Solidarity of Papuan Students and Youth (SONAMAPPA) due to her criticisms of government policies in West Papua in relation to the Covid-19. According to Wehelmina Morin, LL.B. from the Papua Human Rights Lawyers Coalition and one of Assa Asso’s legal advisors, they experience many difficulties in meeting their clients and felt that the political prisoners are further burdened by the policy of online trials that was put in place. She said, "When I was going to the Papua Regional Police Prison to meet with Assa Asso at 11:30 CET, the prison guards did not allow me to enter because they had to coordinate with the Prosecutor, along with other reasons related to the virus, so entry was restricted. I said that I adhered to the Criminal Procedure Code which states the Defendant's rights, and I asked the police to read it so they would not prevent us from meeting our client because this is related to their right to be defended during trial. So it was a rough time before [we] were allowed to enter.

What we at the legal counsel found is that the police’s implementation of the laws are does not match to what is written. Something like that happened in the prosecutor's office also. We feel that the present online court policy does not benefit our clients, especially during presentation of evidence such as Assa Asso’s trial yesterday in Jayapura, other trials in Wamena, and also Randis Lokbere’s at the Biak District Court."


It is not only the obstacles in the legal processes that is worrisome. In the midst of the Covid-19 outbreak, the health and safety of Papuan political prisoners need to be a major concern. If the lawyers and legal advisors have difficulties in meeting victims of criminalization for treason, then it could be more difficult for families without a lawyer.

Amid the global pandemic, activists are still experiencing repression in various parts of the world, for fighting for socio-cultural and economic rights, and socio-political rights including the rights of Indigenous Peoples to self-determination, and freedom from all forms of oppression. Let us together call for the freedom of all political prisoners, including Papuan political prisoners who are still struggling for justice for the land and people of West Papua.





KRIMINALISASI PASAL MAKAR TERHADAP FILM MAKER PAPUA

Kita semua tahu bahwa pasca aksi menolak rasisme di Papua dan Indonesia, banyak aktivis yang ditangkap dan dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Assa Asso yang menulis status mengecam dan menolak rasisme melalui akun media social (Facebook) miliknya, yang kemudian ditangkap pada September 2019 di seputaran Sentani, Kabupaten Jayapura – Papua.


Stracky Yalli alias Assa Asso dikenai pasal 106 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tentang makar yakni sesuautu tindakan didepan umum dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara. Ia juga dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yakni tindakan atau upaya mengajak orang melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan udangan-undang.


Assa Aso atau yang lebih dikenal dengan Straky Yalli adalah anggota penuh di Papuan voices, salah satu Komunitas Film Maker Papua. Berdasarkan konfirmasi dengan Ketua Papuan Voices, Bernard Koten pada 07 Mei 2020 lalu, Stracky Yalli merupakan salah satu anggota yang produktiv. Ia aktiv memproduksi film bersama Papuan Voices (PV) sejak 2017 – 2019, diantaranya film atau dokumenter berjudul “Di Penjara” dan “Salon Elisabeth”.

Penangkapan dan kriminalisasi terhadap aktivis pasca aksi menolak rasisme dinilai sebagai pembungkaman ruang demokrasi oleh Papuan Voices.. Secara khusus bagi bagi film maker dan kebebasan ekpresi di dunia maya. Sementara ini, proses persidangan terhadap Assa Asso masih berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, terkahir persidangan Assa Asso dilakukan pada selasa, 05 Mei 2020 dengan agenda pemeriksaan saksi oleh Jaksa Penutut Umum Pengadilan Negeri Jayapura.


Berdasarkan informasi dari Wehelmina Morin, S.H, salah satu Anggota Koalisi Pengacara HAM Papua Kamis, 07 Mei 2020 melalui pesan Whats Ap.


“Assa Asso telah menjalani Proses Hukum di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura. Assa Asso telah menjalani Dakwaan dari Jaksa Penuntun Umum di mana Terdakwa didakwa tindak Pidana Kejahatan Terhadap Keamanan Negara/ Makar dan atau menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan ` keonaran dikalangan Masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHP Jo Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP dan atau Pasal 14 ayat ( 1) dan ( 2) dan Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 66 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 187 KUHP dan atau Pasal 365 KUHP dan atau 170 KUHP ayat ( 1) dan atau Pasal 2 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1951 Jo Pasal 64 KUHP. Eksepsi/ Keberatan dari Penasehat Hukum, Replik dari Jaksa Penuntut Umum, Putusan Sela ( antara) dari Majelis Hakim, Pembuktian. Dan agenda Sidang yang sekarang dijalani masih pada agenda pembuktian, dimana Jaksa Penuntut Umum dalam Berita Acara Pemeriksaan di siapkan saksi memberatkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebanyak 4 orang Saksi. Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan saksi memberatkan dimana 3 orang saksi dari Jaksa Penuntut Umum dan masih tersisa 1 orang saksi dari masyarakat sipil. Sidang akan dilanjutkan lagi pada selasa, 12 Mei 2020 misih dengan agenda pemeriksaan saksi memberatkan dari Jaksa Penuntut Umum, Obeth Ansanai, S.H.”


Berdasarkan keterangan diatas, kita dapat melihat bahwa Assa Asso dijerat pasal berlapis, yang memberatkannya. Menurut Emanuel Gobay, S.H.,MH dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam siaran Pers yang diterbitkan, dengan nomor : 008-SK-KPHHP/III/2020 menjelaskan dengan tegas bahwa Assa Asso merupakan korban kriminalisasi Pasal Makar, hal ini dapat kita telusuri dalam surat dakwaan yang tidak secara jelas menyebutkan waktu kejadian perkara atas tindakan makar yang dituduhkan pada Assa Asso.


Selain pasal Makar yang seringkali digunaka untuk mengkriminaslisasi aktivis di Papua, ada juga pasal 160 KUHP terkait penghasutan yang menjerat aktivis, seperti apa yang terjadi pada salah satu aktivvis HAM Melianus Dwitau. Serta Undang-undang ITE dan pencemaran nama baik yang mulai digunakan oleh Pejabat Papua, seperti yang terjadi April lalu pada Alforiani Reba aktivvis HAM dan Pro Demokrasi dari SONAMAPPA (Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua) yang hendak dikriminalisasi akibat mnegkritisi kebijakan publik yang diambil oleh Pemerintah daerah dalam menangani Penyebaran Covid-19 di Proinsi Papua Barat (Administration Aoutority by Indonesia Rezim in WP).


Sementara itu, Wehelmina Morin, S.H selaku salah satu Penasehat Hukum Assa Asso dari Koalisi Pengacara HAM Papua menyatakan bahwa Penasehat Hukum/Pengacara korban Kriminalisasi Pasal Makar (Tahanan Politik) mengalami banyak kesulitan saat hendak menemui korban demi untuk kepentingan pembelaan, Ia (Wehelmina) juga merasa kliennya dirugikan oleh Kebijakan Persidangan Secara online yang diberlakukan. Berikut kutipan pernyataan melalui pesan Whats Ap yang disampaikan:

“Tadi waktu saya hendak ke Penjara Kepolisian Daerah Papua untuk bertemu dengan Assa Asso pada jam 11.30 WIT. Penjaga Tahanan di Polda sempat tidak menizinkan saya masuk alasannya harus kordinasi ke Jaksa, dan alasan lain terkait virus dan alasan-alasan lainya, Jadi dibatasi.


Saya bilang bahwa saya berpegang pada Undang Undang tertinggi KUHAP yang mengatur hak-hak Terdakwa jadi saya bilang sama Polisinya tolong dibaca supaya tidak menghalangi kami ketemu degan Klien karena ini terkait hak mereka untuk pembelaan di persidangan. Jadi, tadi sempat ada kasar baru mereka ijinkan masuk.


Jadi, hal yang kami Penasehat Hukum temukan bahwa implementasi di Kepolisian kadang tidak sesuai degan Undang- Undang yang berlaku. Tidak hanya itu, hal seperti itu terjadi juga di kantor kejaksaan. Dan kami sebagai Penasehat Hukum juga merasa bahwa kebijkan sidang online yang diterapkan sama sekali tidak mengutungkan Klien kami apalagi saat pembuktian seperti kemrin pada saat sidang Assa Asso di Jayapura, Persidangan lainnya di Wamena dan juga Randis Lokbere di Pengadilan Negeri Biak.”


Bukan hanya kendala dalam menjalani proses Hukum dan Persidangan saja yang perlu dikhawatirkan. Ditengan wabah Covid-19, kesehatan dan keselamatan Tahanan Politik Papua perlu menjadi perhatian utama. Jika Pengacara/Penasehat hukum mengalami kendala untuk menemui korban kriminalisasi pasal makar, maka akses keluarga pun bisa jadi lebih sulit tanpa didampingi pengacara.


Ditengah Pandemic global dan Repesifitas yang masih saja dialami oleh aktivis diberbagai belahan dunia, yang hari ini memperjuangkan Hak Ekonomi Sosial Budaya serta Hak Sosial Politik termasuk Hak-hak Pribumi dan juga Hak untuk Menentukan Nasib sendiri dan bebas dari segala bentuk penindasan. Marilah kita bersama menyuarakan pembebasan bagi seluruh tahanan politik, termasuk termasuk Tahanan Politik Papua yang masih berjuang untukmendapatkan keadilan bagi tanah dan bangsa Papua Barat.


In Solidarity,

West Papua

bottom of page